A.
Pengertian Empati
1.
Etimologi
Psikolog Edward Titchener (1867-1927) memperkenalkan "empati"
pada 1909 ke dalam bahasa Inggris sebagai terjemahan dari istilah Jerman "Einfühlung" (atau "perasaan
menjadi"), sebuah istilah yang pada akhir abad ke-19 adalah di kalangan
filosofis Jerman dipahami sebagai kategori penting dalam estetika
filosofis.(http://plato.stanford.edu/entries/empathy/)
Empati (dari Bahasa Yunani εμπάθεια yang berarti "ketertarikan
fisik") didefinisikan sebagai respons afektif dan kognitif yang kompleks
pada distres emosional orang lain. Empati termasuk kemampuan untuk merasakan
keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah,
dan mengambil perspektif orang lain.
Kata empati dalam bahasa inggris (Empathy) ditemukan pada tahun 1909 oleh
E.B. Titchener sebagai usaha dari menerjemahkan kata bahasa Jerman
"Einfühlungsvermögen", fenomena baru yang dieksplorasi oleh Theodor
Lipps pada akhir abad 19. Setelah itu, diterjemahkan kembali ke dalam Bahasa
Jerman sebagai "Empathie" dan digunakan di
sana.(http://id.wikipedia.org/wiki/Empati)
2.
Epistimologi
a.
Edith Stein
Empati adalah pengalaman kesadaran asing pada umumnya.
b.
Heinz Kohut
Empati adalah kemampuan untuk berpikir dan merasa diri ke dalam
kehidupan batin orang lain.
c.
CD Batson
Empati adalah perasaan kongruen yang berorientasi pada
kesejahteraan yang dirasakan orang lain." Sumber: Batson, C. D. (1994).
Mengapa bertindak untuk kepentingan publik? Empat jawaban. Kepribadian dan
Psikologi Sosial Bulletin.
d.
Jean Decety
Rasa kesamaan perasaan yang dialami oleh diri sendiri dan
lainnya, tanpa menimbulkan kebingungan dan masalah antara dua Individu.
e.
Nancy Eisenberg
Sebuah respon afektif berasal dari penangkapan atau pemahaman
kondisi emosional orang lain atau kondisi lainnya, dan mirip dengan apa yang
orang lain harapkan untuk merasakan" (2002, hal 135). Empati yang
berhubungan dengan emosional tanggapan, altruisme, dan sosialisasi Dalam RJ
Davidson & A. Harrington (Eds.).
f.
Martin Hoffman
Sebuah respon afektif yang lebih tepat dengan situasi lain
dari satu sendiri" (, 1987 p 48)
g.
Roy Schafer
Empati melibatkan pengalaman batin berbagi dalam dan memahami
keadaan psikologis mometary orang lain.
h.
Greenson RR
Untuk berempati berarti untuk berbagi, untuk mengalami perasaan
orang lain. (1960, hal 418). Sumber: Sutandar, R. R. (1960). Empati dan
perubahan-perubahan tersebut. International Journal of Psikoanalisis.
i.
Carl Rogers
Untuk memahami kerangka internal referensi lain dengan
akurasi dan dengan komponen emosional dan makna Yang berkaitan dalamnya seolah-olah
adalah menjadi orang lain, tapi tanpa pernah kehilangan" kondisi
seolah-olah ". Dengan demikian, berarti merasakan sakit atau kesenangan
lain saat merasakan perasaan itu dan untuk melihat penyebab daripadanya saat ia
merasakan perasaan itu, tapi tanpa pernah kehilangan pengakuan Bahwa
seolah-olah saya terluka atau senang dan sebagainya. "( 1959, hlm 210-211)
" Sumber: Rogers, C. R. (1959). Sebuah teori hubungan terapi, kepribadian
dan interpersonal, sebagaimana Dikembangkan dalam kerangka berpusat pada klien.
Dalam S. Koch (Ed.), Psikologi: Sebuah studi ilmu (Vol. 3, hal 184-256.). New
York: McGraw Hill.
j.
Khen Lampert (2005)
Empati adalah apa yang terjadi pada kita dan ketika kita meninggalkan
tubuh kita sendiri dan menemukan diri kita baik sejenak atau untuk jangka waktu
lebih lama dalam pikiran yang lain Kami mengamati realitas melalui matanya,
merasakan emosinya, berbagi dalam rasa sakitnya.
Kapasitas manusia untuk mengenali perasaan tubuh lain yang terkait dengan
kapasitas meniru seseorang dan tampaknya didasarkan pada kemampuan bawaan untuk
mengasosiasikan gerakan tubuh dan ekspresi wajah orang melihat di lain dengan
perasaan proprioseptif menghasilkan gerakan-gerakan yang sesuai atau ekspresi
diri.
Empati menurut Abu Ahmadi (2003) ialah kecenderungan untuk merasakan
sesuatu yang dilakukan orang ain andaikata dia dalam situasi orang lain
tersebut. Karena empati, orang dapat menggunakan perasaannya dengan efektif di
dalam situasi orang lain, di dorong oleh emosinya seolah-oleh dia ikut
mengambil bagian dalam gerakan-gerakan yang dilakukan orang lain. Di sini ada
situasi “feeling into a person or thing”.
Dalam strategi komunikasi yang paling tepat dengan realitas majemuk dan
asumsi perbedaan adalah empati. Seperti simpati, istilah ini pun digunakan
dalam arti bermacam-macam. Dalam penggunaan sehari-hari, empati sering
didefenisikan sebagai berada pada posisi orang lain; sebagai simpati yang
dalam; sebagai kepekaan pada kebahagian bukan pada kesedihan; dan sebagai
sinonim langsung dari simpati. (Deddy Mulyana, 2006: 87)
B.
Aspek Spiritual
Menumbuhkan sikap empati merupakan ajaran Islam yang dianjurnkan. Sebab
Islam adalah agama yang mengajarkan kepada pengikutnya untuk selalu
merasakan apa yang dirasakan orang lain. Jika ada yang sakit di antara mereka,
maka yang lain pun ikut merasakan sakitnya. Jika ada yang kurang beruntung,
maka yang lain pun juga bisa merasakan bagaimana menjadi orang yang beruntung.
Kesadaran empatik ini juga tercermin dari seluruh kehidupan Nabi saw.
Penyampai firman Allah ini dalam hidupnya juga telah didesain oleh Allah
untuk bisa berempati dengan semua jenis umatnya. Beliau bisa merasakan hidup
orang miskin maupun anak yatim, bisa mengalami beratnya menjadi pekerja, dan
juga merasakan suka dukanya orang berharta. Bahkan kepada orang yang tidak
mengerti pun Rasulullah saw amat berempati.
(http://hikmah.pelitaonline.com/news/2012/10/12/menumbuhkan-empati#.UPJzTlJNH1U)
C.
Aspek Emosi
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi,
emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi
dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat
mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995)
Penelitian menunjukkan bahwa tidak semua orang mampu merasakan empati,
atau emosi orang lain memperhatikan. Jadi, apakah autisme dan sindrom Asperger sering ditandai dengan pengurangan kapasitas untuk empati
bagi orang lain?. Ini tidak berarti bahwa orang-orang tidak memiliki perasaan
untuk orang lain dapat berkembang. Hal ini bahkan umum bagi orang-orang untuk
mengembangkan perasaan yang kuat bagi orang lain sebagai akibat dari salah membaca emosi seseorang.
Empati adalah sifat yang tertanam dalam pengembangan emosional dan
kognitif individu. Penelitian menunjukkan empati yang berkembang sendiri
sekitar usia Balita contoh menghibur orang lain pada usia muda. Bahkan balita
dapat bermain mempermainkan dari usia itu bahwa mereka bisa menipu orang lain.
Keterampilan ini mengharuskan anak tahu apa yang orang lain percaya, sehingga
balita bisa memanipulasinya.
(http://www.sarjanaku.com/2012/11/pengertian-emosi-menurut-para-ahli.html)
D.
Aspek Kognitif
Psikologi kognitif adalah salah satu cabang dari psikologi dengan
pendekatan kognitif untuk memahami perilaku manusia. Psikologi kognitif
mempelajari tentang cara manusia menerima, mempersepsi, mempelajari, menalar,
mengingat dan berpikir tentang suatu informasi.
Proses empati dan melibatkan emosi dan kecerdasan yang terkendali. Empati
berarti emosi dibawa dalam empaten – seseorang yang memiliki empati – sementara
empati kognitif adalah investigasi rasional mengambil tempat untuk mengevaluasi
mempengaruhi relevansi dan pentingnya. Switch empati empaten proses antara dua
bentuk untuk secara bertahap meningkatkan kesadaran mereka tentang keadaan
emosi yang lain.
Empati kadang-kadang dilihat sebagai keterampilan individu atau sifat
kepribadian yang penting dalam berurusan dengan orang lain. Empati memainkan
peran kunci dalam kecerdasan emosional seseorang.
Menurut analisis yang diwakili khususnya oleh Henry Montgomery adalah
bagian dari fenomena empati komponen ini:
a. Pemahaman – beberapa jenis
pemahaman empati yang dibawa ke
b. Merasa – yang empaten (orang
yang merasa empati) mengalami arti konsisten dengan yang lain
c. Kesamaan dirasakan – empaten
merasa diri mereka memiliki kesamaan yang relevan dengan objek empati
d. Aksi – empati ini diwujudkan
dalam dokumen dari empatens halama
E.
Aspek Sosial
Konsep empati tidak hanya digunakan dalam praktik-praktik konseling dan
psikoterapi saja, namun juga telah dikembangkan secara masif dalam
kajian-kajian psikologi sosial.
Sementara itu, banyak kalangan terutama para peneliti dan mahasiswa yang
memiliki ketertarikan mengkaji konsep empati merasa kesulitan menemukan
literatur-literatur empati, khususnya dalam bahasa Indonesia.
Istilah (term) ini pertama kali dikenal oleh penulis ketika mengikuti
perkuliahan Psikologi Konseling pada tahun 1995-an. Ketika itu empati
diartikan, secara mudahnya, sebagai cara untuk memahami kondisi orang lain,
yaitu bagaimana seharusnya konselor memahami keadaan dan
permasalahan-permasalahan yang diungkapkan oleh seorang konseli (klien). Ibarat
anak yang baru bisa bersepeda terlihat si anak sangat antusias untuk
menggunakan berbagai macam gaya bersepeda. Begitu juga para mahasiswa ketika
itu, mereka tampak ‘maruk’ menyelipkan istilah-istilah baru yang ditemuinya ke
dalam percakapan sehari-hari, termasuk empati. Kadang-kadang istilah “empati”
diterapkan secara sembarangan sehingga memiliki pengertian yang aneh dan
menggelikan. Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman dan penguasaan atas
konsep yang digunakan.
Beberapa sumber referensi yang tersedia selama ini hanya sebatas
membicarakan empati dalam tataran praktis tanpa mengupas lebih dalam akan
sejarah, teori, dan perkembangan-perkembangan konsep tersebut sebagaimana telah
dicapai oleh para peneliti empati kontemporer dalam penelitian-penelitian
mereka. Maka berdasarkan pengalaman-pengalaman penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya dan keikutsertaan penulis dalam berbagai diskusi seputar konsep empati,
serta dengan harapan agar konsep empati dapat dipahami secara akurat, penulis
memberanikan diri untuk menuangkan gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikirannya
dalam sebuah buku yang saat ini ada di hadapan anda.
F.
Empati dalam Kesehatan
Mental
Empati mencakup respon tersendiri terhadap perasaan orang lain, seperti
rasa kasihan, kesedihan, rasa sakit. Empati memainkan peranan penting dalam
berbagai bidang ilmu, kriminologi dari psikologi, fisiologi, pedagogi,
filsafat, kedokteran dan psikiatri. Dalam empati terdapat rasa keterlibatan
emosional seseorang dalam realitas yang mempengaruhi orang lain.
Beberapa studi menunjukkan adanya sifat-sifat yang berhubungan dengan
empati pada beberapa hewan bukan manusia, seperti tikus atau primata lainnya.
Dalam pengertian ini, bisa dijelaskan bahwa empati berasal dari mekanisme saraf
dasar yang dikembangkan selama evolusi.
Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh
antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi
problem-problem yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan
dan kemampuan dirinya.
Fungsi-fungsi jiwa seperti fikiran, perasaan, sikap jiwa, pandangan dan
keyakinan hidup, harus dapat saling membantu dan bekerja sama satu sama lain,
sehingga dapat dikatakan adanya keharmonisan, yang menjauhkan orang dari
perasaan ragu dan bimbang, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan
(konflik).
Dengan demikian, perubahan-perubahan tidak akan menyebabkan kegelisahan
dan kegoncangan jiwa. Kesehatan yang penulis maksud di sini adalah terwujudnya
keserasian antara fungsi kejiwaan serta terciptanya penyesuaian diri antara
manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungan yang didasarkan pada keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT serta diarahkan untuk mencapai kehidupan yang
bermakna, bahagia dunia dan akhirat.
Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri berpandangan bahwa
kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri merupakan unsur pertama dari
kondisi mental yang sehat. Dalam hal ini, penyesuaian diri diartikan secara
luas yakni secara aktif berupaya memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan
harga diri, atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi tanpa melanggar hak-hak
orang lain. Penyesuaian diri yang pasif dalam bentuk serba menarik diri atau
serba menuruti tuntutan lingkungan adalah penyesuaian diri yang tidak sehat,
karena biasanya akan berakhir dengan isolasi diri atau menjadi mudah terbawa
situasi yang melingkupinya.
Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi pribadi. Menurut
pandangan ini, kesehatan mental terjadi bila potensi-potensi kreatifitas, rasa
humor, rasa tanggung jawab, kecerdasan, kebebasan bersikap dikembangkan secara
optimal sehingga mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.
Zakiah Daradjat mengatakan bahwa apabila kesehatan mental terganggu dapat
menyebabkan orang tidak mampu menggunakan kecerdasannya. Keabnormalan emosi dan
tindakan juga dapat disebabkan oleh terganggunya kesehatan mental. Pada keadaan
tertentu terganggunya kesehatan mental dapat menyebabkan orang tidak mampu
menggunakan kecerdasannya.
(http://www.rumpunilmu.com/2012/05/konsep-kecerdasan-emosi-daniel-goleman.html)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus