Kognisi merupakan
bagian inteleg yang merujuk pada penerimaan, penafsiran, pemikiran,
pengingatan, dan penghayalan atau penciptaan, pengambilan keputusan, dan
penalaran. Karena kognisi merupakan factor penting dan mempunyai pengaruh
terhadap perilaku, maka konselor akan terbantu apabila memahami kognisi dan
dinamika dasarnya.
Asumsi-Asumsi yang Salah
Asumsi
kognitif (hipotesi, keyakinan, konstruk) dibuat oleh orang untuk mengendalikan
dan membuat kesan mengenai hidupnya. Tanpa asumsi kognitif, setiap rangsangan
yang masuk kedalam kesadaran, akan menjadi kesan yang tidak diketahui dan akan
membuat kecemasan besar. Asumsi kognitif dapat benar atau salah dan dapat
sesuai atau bertentangan.
Perkembangan
Asumsi yang
salah hampir seluruhnya di pelajari, meskipun beberapa teori meyakini bahwa
kesalahan asumsi didasari oleh predisposisi biologis. Proses pembelajaran yang
menyebabkan asumsi yang salah diperoleh melalui lima cara yaitu:
1.
Melalui
pengalaman langsung
2.
Terjadi
dengan kejadian seolah-olah megalami sendiri
3.
Pengajaran
langsung
4.
Logika
simbolik
5.
Miskontruksi
hubungan sebab akibat
Di samping itu
asumsi yang salah dapat ditimbulkan oleh kesalahan dalam berfikir.hal-hal
berikut ini merupakan kesalahan dalam berfikir yang menyabebkan asumsi yang
salah:
1.
Generalisasi
berlebihan (over generalisation)
2.
Konsep
semua atau tidak sama sekali
3.
Pernyataan
mutlak
4.
Ketidak
akuran semantic
5.
Akurasi
waktu
Karateristik
Asumsi yang
salah mempunyai beberapa beberapa karateristik dalam hal: dimensi waktu, pola-pola,
kesalahan mendasar, asumsi berbahaya dan tidak bebahaya.
Dimensi
waktu
Asumsi salah
berkenaan dengan masa lalu, sekarang dan yang akan dating. Ada orang yang
mempunyai asumsi salah berkenaan dengan masa lalu misalnya: “orang tua saya
tidak mencintai saya”. Dengan asumsi itu membuat tidak mau bergaul dengan orang
lain karena ia beranggapan orang tua orang tua saja tidak mencintainya apalagi
orang lain.
Asumsi salah
yang berkenaan dengan masa kini seperti: “saya tidak memiliki kecakapan untuk
bekerja”. Dengan asumsi itu ia mencari perkerjaan yang gambang dan di luar
minatnya. Selanjutnya asumsi salah yang berkenaan dengan masa yang akan dating
misalnya: “kala saya menikah nanti pasti saya tidak akan bahagia”. Asumsi itu
muncul karena melihat ibunya yang sudah tiga kali bercerai.
Setiap asumsi
dapat terlihat signifikan akan tetap menimbulkan kecemasan dan ketidakbahagiaan
dalam hidup. Alam beberapa kasus, orang yang mempunyai ketiga macam asumsi
salah itu pada akhirnya dapat melumpuhkan dirinya sendiri.
Pola-pola
asumsi salah
Orang yang
mengikuti konseling akan dipengaruhi oleh asumsi salah yang secara signifikan
akan menghambat hidupnya sendiri sehingga akan membatasi gerak hidupnnya.
Asumsi salah dikelompokkan ke dalam kategori dalam bentuk yang berjenjang.
Hal
yang mendasari kekurangan
Asumsi salah
sealu dapat ditelusuri ke belakang berkenaan dengan kekurangan yang ada dalam
dirinya. Untuk alas an ini asumsi salah tidak saja sebagai indicator masalah
yang dihadapi seseorang, akan tetapi juga sebagai indicator alasan
kekurangmampuan orang dalam menyesuiakan diri mencapai kebahagiaan.
Asumsi
berbahaya dan tidak bebahaya
Semua asumsi
negative tidak selalu menimbulkan gangguan psikologis asumsi salah yang
berbahaya dapat berupa ucapan, misalnya: “semua orang yang kukasihi harus
mencintai saya”. Asumsi yang tidak berbahaya dapat dilihat dalam kalimat: “saya
menikahi seseorang yang terbaik yang pernah kucintai”.
Beberapa Pertimbangan Bagi Konselor
Dalam
menghadapi klien dengan kasus asumsi salah, ada beberapa hal yang harus menjadi
pertimbangan bagi konselor antara lain:
1.
Kesabaran.
Konselor harus memiliki kesabaran yang baikdalam menangani klien dengan kasus
asumsi salah.
2.
Reaksi
yang tidak membantu. Konselor hendaknya menunjukan reaksi yang sedemikian
rupa agar dapat membantu klien.
3.
Emosi.
Konselor harus memahami bahwa walaupun masalahnya adalah kaitannya dengan
kognisi, akan tetapi tidak boleh menngabaikan keterkaitannya dengan factor
emosional.
4.
Asumsi
yang tidak disadari. Asumsi salah yang paling merusak adalah asumsi yang
seringkali tidak disadari oleh klien dan sangat percaya bahwa asumsi itu benar.
5.
Validitas.
Konselor harus menyadari bahwa tidak semua asumsi itu salah. Oleh karena itu
konselor harus mampu menelaah secara hati-hati dan mempunyai bukti yang cukup
untuk membuktikan bahwa asumsi itu salah.
6.
Berbagi
asumsi. Dalam konseling konselor dapat berbagi pengalaman bersama klien
dalam hal kesamaan asumsi. Menyembunyikan
asumsi.
7.
Menyembunyikan
asumsi. Dalam konseling konselor akan mendapatkan klien yang berusaha
menyembunyikan asumsinya yang salah dan berusaha untuk menghindari adanya upaya
untuk mengungkapkannya. Meskipn demikian klien ada kemungkinan memanifestasikan
sesuatu yang kurang baik sebagai efek dari asumsi yang salah.
8.
Menghilangkan
asumsi. Konselor tidak dapat membuat alasan, bukti, atau bicara dengan
klien di luar asumsi salah. Konseling harus secara terus menerus menyajikan
bukti asumsi salah sampai klien tidak dapat membantunya.
9.
Melibatkan
konselor dalam masalah. Konselor dapat berperan sebagai bagian integral
dari asumsi salah dari klien dalam dua cara yaitu: pertama konselor dapat menjadi sasaran asumsi salah dari klien, kedua klien dapat memproyeksikan asumsi
salahnya kepada konselor.
10. Membuktikan asumsi salah. Klien dalam
konseling dapat memanipulasi dengan membuktikan bahwa asumsinya benar. Dalam
hubungan ini konselor harus berhati-hati dan mampu mengajak klien agar tidak
terpengaruh oleh keinginan klien. Peran konselor ialah mengajar klien bahwa
tidak ada peristiwa yang tidak dapat dielakan yang mennyebambkan bencana.
11. Kenyataan yang baru. Perubahan dari
asumsi salah menjadi asumsi benar tidal selalu perlu dan secara otomatis
membawa kompetisi psikologis untuk menemukan kenyataan baru. Konselor harus
tetap mencoba mengurangi semua asumsi salah lewat proses terapi dan kemudian
membangun kembali asumsi-asumsi yang benar. (Muhammad Surya, 2003: 75-85)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar